RENUNGAN ESTUF
11 Maret 2022
Apologetika Kristen adalah ilmu sistematis yang mempertahankan dan menjelaskan iman dan kepercayaan Kristen. Orang yang ahli dalam bidang ini disebut Apologis Kristen. Apologetika adalah suatu ilmu dalam kaitannya dengan pembelaan.
Di kalangan Kristen, Apologetika dimengerti sebagai ilmu mengenai pembelaan iman Kristen. Ilmu ini berusaha menjawab pernyataan sikap kaum skeptisisme yang meragukan keberadaan Allah atau menyerang kepercayaan kepada Allah yang terdapat dalam Alkitab. Pembelaan ini dapat ditunjukkan kepada pemeluk agama yang lain, aliran Kristen yang lain, warga komunitas sendiri yang ragu-ragu atau kepada orang beriman biasa yang ingin mengerti bahwa iman mereka dapat dipertanggungjawabkan.
Ada berbagai metode dalam apologetika Kristen, tetapi pada umumnya ada dua metode utama, yaitu metode pembuktian dan metode presuposisi.
- Apologetika dengan metode pembuktian adalah upaya menyajikan atau memberikan bukti-bukti bahwa apa yang dikatakan Alkitab itu benar adanya. Apologetika pembuktian ini juga dikenal sebagai apologetika klasik.
- Apologetika dengan metode presuposisi adalah konfrontasi terhadap asumsi-asumsi, prasangka-prasangka, dan cara pandang (worldview) anti Kristen dan membuktikannya salah dengan mempresuposisikan kebenaran Kristen sebagai titik awal. Jadi, Allah dalam Alkitab bukan hanya dianggap sebagai konklusi, tetapi juga awal dan kerangka berpikir. Apologetika presuposisi dikenal juga dengan sebutan apologetika anggapan.
Alasan penting sebuah apologetika yang baik, yaitu:
- Apologetika sebagai pembelaan dan penyerangan. Apologetika bukan semata-mata pembelaan melainkan juga serangan terhadap pikiran dan perbuatan orang yang tidak percaya atau skeptis. Yang dimaksud dengan “penyerangan” di sini bukan berarti “sikap buruk” atau “kasar”, melainkan sesuai dengan cara yang ditetapkan. Sikap yang buruk dan kasar dalam apolegetika merupakan sikap yang keliru karena apologetika harus dilakukan dengan “lemah lembut, dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni” (bandingkan 1 Petrus 3:15-16). Sebagai analogi, kita dapat memakai contoh dalam bidang olahraga tinju. Seorang petinju yang baik tidak hanya bertahan (defensif) dari serangan lawan, tetapi juga melakukan serangan (opensif) kepada lawannya. Petinju yang baik tidak akan menyerang lawan dengan cara-cara sembarangan dan tidak sportif, melainkan melakukannya sesuai dengan peraturan yang ditetapkan untuk jenis olahraga tinju tersebut. Begitu juga dengan apolegetika yang baik, tidak hanya pembelaan, tetapi juga penyerangan. Serangan merupakan fungsi utama apologetika. Oleh karena itu, pembelaan terbaik adalah serangan terbaik.
- Apologetika sebagai kegiatan iman dan akal. Beberapa orang telah mengkontraskan antara iman dan akal. Kekristen seharusnya menempatkan iman dan akal bukan sebagai dua hal yang bertentangan. Yang perlu kita tolak adalah rasionalisme bukan rasionalitas. Mengapa? Karena rasionalisme adalah faham atau filsafat yang sangat meninggikan rasio, menjadikan akal sebagai penentu kebenaran, dan bukan Allah ataupun Alkitab. Rasionalisme menganggap bahwa segala sesuatu harus dinilai berdasarkan rasio, dan jika suatu kebenaran tidak dapat dicerna oleh rasio, maka hal itu tidak dapat disebut kebenaran. Dengan demikian, dalam rasionalisme, segala hal yang bersifat supranatural dianggap bukan kebenaran dan dianggap tidak ada, termasuk mujizat Allah dan pekerjaan Roh Kudus masa lalu dan masa kini yang tidak dapat dicerna oleh akal. Sebagai seorang Kristen, kita seharusnya logis dalam pemikiran, menaruh perhatian dengan berpegang pada kebenaran yang sungguh-sungguh, bukan yang salah, terutama mengenai Tuhan dan apa yang dikatakanNya di dalam Alkitab.
- Apologetika sebagai bukti iman yang bertanggung jawab. Rasul Petrus memerintahkan agar kita “siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu” (1 Petrus 3:15). Kata “siap sedia” dalam ayat ini adalah kata Yunani “hetoimos” yang berarti “berjaga-jaga; suatu sikap antisipasi; mempersiapkan diri untuk menghadapi pertanyaan atau keberatan dari orang yang tidak percaya”. Berdasarkan 1 Petrus 3:15, nyatalah bahwa orang Kristen memiliki tanggung jawab untuk mengantisipasi pertanyaan dan keberatan yang mungkin diajukan. Jadi, sebagai orang Kristen yang beriman pada Kristus, kita seharus memiliki pengetahuan dan informasi yang benar tentang iman kita, memiliki kesiapan dan kerinduan untuk membagi kebenaran yang kita percayai, dan selalu siap dengan jawaban yang memadai pada saat kita ditanya dengan suatu pertanyaan tentang iman kita tersebut.